Rabu, 21 November 2018


Pertama Bertemu Pujaan Hati
(Witing Tresno Jalaran Soko Kulino)

Bambang S. Sankarto

Pagi itu..., hari Rabu, tanggal 9 Oktober 2002, cuaca sangat cerah. Angin semilir menerpa dedaunan seolah menari nari riang menyambut pagi. Demikian juga, suara bersahut sahutan beberapa ekor burung yang bertengger di pohon jambu depan rumah, serta terpaan berkas sinar mentari yang masih sepenggalah menambah semarak susana sejuk kota Bogor. Pagi itu, pukul 7:00, seperti biasa aku bergegas pergi ke kantor dengan berjalan kaki. Tiap hari aku pergi-pulang berjalan kaki, karena kantor ku relatif dekat dengan rumah, yaaa…kira kira 20 menitan dengan berjalan santai.

Berjalan kaki ke kantor merupakan keasyikan tersendiri. Disamping berolahraga, sepanjang jalan bisa menyaksikan pemandangan yang beragam setiap harinya, apalagi jalan yang dilalui merupakan jalan tikus yang melintasi tiga perkampungan. Betapa beragamnya aktivitas masyarakat di saat pagi pergi kantor, maupun sore hari saat pulang kantor. Layaknya kehidupan keseharian penduduk pada umumnya. Di pagi hari, biasanya terlihat pemandangan orang lalu lalang pergi menuju kantor, anak anak pergi ke sekolah, ibu ibu ada yang menyuapi anaknya, ada yang sedang membeli bubur ayam, dan ada juga yang sedang berbelanja sayur di si abang gerobak sayur. Di sore hari, biasa terlihat orang pada pulang kantor, anak anak pulang sekolah, ibu ibu menyuapi anaknya, anak anak sedang bermain bersama teman temannya, ada juga berbagai tukang dagang menjajakan dagangannya, seperti pisang goreng, bajigur dan rebusannya, mie bakso, bahkan ada juga siomay.

Pagi itu, teng pukul 7:20, aku sudah sampai di kantor. Melewati pintu gerbang, dua orang satpam dengan senyumnya yang ramah menyapa: ”Selamat Pagi, pak”, lantas aku tersenyum dan membalas salam mereka: “Selamat Pagi”.

Suasana halaman kantor mulai ramai, para pegawai berdatangan. Ada yang berjalan kaki, ada yang mengendarai motor, ada juga yang menggunakan mobil. Sampai di lobby kantor, ku melihat para pegawai berbaris mengantri di depan mesin absen untuk absen masuk kantor. Jam masuk kantor pukul 7:30, aku masih punya waktu kira kira 10 menit, kugunakan untuk sarapan roti gandum dan secangkir kopi.

Berbarengan dengan selsainya sarapan, kolegaku seruangan memberi tahu kalau aku dipanggil pimpinan. Aku segera menghadapi beliau, dan bertanya ada apa aku diminta menghadap? Beliau menjawab: “Hari ini ada pegawai baru bernama Retno, tolong dibimbing dan diberi penjelasan Tugas Pokok dan Funsi Bidang ini, Program dan Rencana Kerja, serta berbagai kegiatan yang dilaksanakan tahun ini. “Baik bu”, sahutku. Selang beberapa saat, terdengar olehku suara ketukan pintu ruangan pimpinanku yang diiringi suara salam, “tuk…tuk…tuk”, “assalamualaikum”. Ku sahut: “waalaikumsalam”.  Begitu pintu terbuka, ku lihat mas Hadi, staf Sub Bagian Kepegawaian, masuk bersama seorang wanita muda. Kemudian pimpinanku mempersilahkan duduk. Sebelum duduk, mas Hadi memperkenalkan wanita yang bersamanya: “Bu, ini staf baru kantor kita, namanya Retno”. Kemudian Retno dan pimpinanku, Ibu Liani, saling berjabat tangan. Demikian juga aku dan Retno berjabat tangan saling memperkenalkan diri. Mas Hadi kemudian menyerahkan Retno ke Ibu Liani, sesuai SuratKeputusan Penempatan Pegawai. Setelah itu, Mas Hadi pamit, dan kemudian ibu Liani menyerahkan Retno kepadaku untuk diorientasi di Bidang tempat kerjaku.

Keesokan harinya, sebelum menjelaskan apa yang akan diorientasi, aku ngobrol sedikit mengorek informasi tentang Retno. Dia ternyata bertempat tinggal di Jakarta bersama orangtuanya. Untuk sementara dia pergi-pulang ke kantor di Bogor naik kereta. Setelah itu, Retno ku perkenalkan kepada seluruh pegawai yang ada di Bidang dimana aku bekerja. Setelah ku perkenalkan, kemudian aku beri penjelasan dan pengetahuan tentang ruang lingkup tugas dan fungsi Bidang dimana nanti Retno bekerja, juga program dan berbagai kegiatannya. Selama sebulan, Retno melakukan orientasi tersebut. Disela sela waktu orientasi, aku pernah makan siang bersamanya. Disaat itu, Retno bercerita bahwa dia mempunyai pakde dan bude (uwa) yang tinggal di Bogor. Dia menceritakan bahwa pakde dan budenya tersebut tinggal di Komplek Pertanian, memiliki tiga orang anak yang bernama Tanti, Fenti, dan Bagus. Dari ceritanya tersebut, ternyata aku kenal dekat dengan keluarga Pakde dan Budenya. Mengapa?? Karena Fenti adalah teman sekolahku saat SMA dan teman kuliah waktu S1. Aku menceritakannya kepada Retno. Retno cukup terkejut aku mengenal keluarga Pakde-budenya, dan langsung minta diantar kerumah Pakdenya.

Sore hari, setelah pulang kantor, aku mengantar Retno ke rumah Pakde-budenya. Dengan speda motorku, ku bonceng dia menuju rumah Pakdenya. Sesampai di rumah Pakdenya, budenya Retno terkejut dan agak keheranan melihat aku datang bersama cucunya. Kemudian kami saling berjabat tangan. Retno berpelukan erat dengan budenya, menunjukan kangen yang sudah lama tidak berjumpa. Pakdenya, saat itu tidak berada di rumah, sedang tugas ke luar kota. Setelah aku dipersilahkan duduk, budenya langsung akan membuatkan kami minum, tapi dicegah Retno: “Biar aku yang buatkan minum, bude”. Kata bude: “Ayo sini ikut bude ke dapur”. Lalu mereka berdua menuju dapur. Sambil membuat minuman, entah apa yang mereka obrolkan di dapur. Mungkin tidak jauh dari saling berbagi khabar antar keluarga, gumamku. Tidak begitu lama, datanglah bude dan Retno sambil membawa nampan yang berisi cangkir minuman dan 2 toples kue. Setelah minuman dan kue ditaruh di meja, aku dipersilahkan bude untuk meminumnya. “Monggo diunjuk, mas”, kata bude. “Iya bu, terimakasih”, jawabku. Kemudian minuman teh hangat yang telah tersaji, aku sruput. Segar dan memudarkan dahaga, rasanya. Bude lantas bertanya: “Ini kok bisa ke sini berduaan, bagaimana ceritanya?” Kemudian Retno menceritakan kepada budenya: “Gini lho bude. Aku ini diterima bekerja di kantor mas Budi ini, lho”, sambil menunjuk kepadaku. “Mulai hari kemarin sampai kira kira satu bulan ke depan, aku dalam masa orientasi, sebelum diterjunkan ke pekerjaan”. “Ooo…alaaahhh…Mas Budi iki konco sekolahane Fenti sejak SMA lan wektu kuliah, Ret., dunyo iki sempat, yo”, jawab bude dengan gembira. “Kamu sekarang selama orientasi tinggal dimana?” Tanya bude. “Pulang pergi, bude”, jawab Retno. Bude kemudian bilang: “Wis, mulai besok kamu tinggal di rumahku, di belakang masih ada dua kamar yang kosong. Sana tempati”. “Iya bude, aku ijin bapak ibu dulu”, kata Retno. “Ibu Bapakmu pasti ngijinin, wong tinggal di rumah budenya”. “Iya bude”, tukas Retno menjawab tawaran budenya yang bicaranya begitu bersemangat.

Seminggu setelah kunjungan ke rumah budenya tersebut, Retno mulai pindah ke rumah budenya, dan saat itu, aku juga membantu kepindahannya sesuai permintaan budenya. Sejak tinggal di situ, bude selalu meminta bantuan aku jika ada acara di rumahnya. Aku dan Retno selalu bersama membantu bude. Maklum saat itu, putra dan putrinya bude masih pada kuliah di kota lain. Dari selalu bersama itulah, lambat laun terbit kasih saying antara aku dan Retno. Kalau menurut peribahasa jawa kita mengenalnya dengan Witing Tresno Jalaran Soko Kulino.

Bogor, 9 November 2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar