Pertama
Bertemu Pujaan Hati
(Witing Tresno
Jalaran Soko Kulino)
Bambang S. Sankarto
Pagi
itu..., hari Rabu, tanggal 9 Oktober 2002, cuaca sangat cerah. Angin semilir
menerpa dedaunan seolah menari nari riang menyambut pagi. Demikian juga, suara
bersahut sahutan beberapa ekor burung yang bertengger di pohon jambu depan
rumah, serta terpaan berkas sinar mentari yang masih sepenggalah menambah
semarak susana sejuk kota Bogor. Pagi itu, pukul 7:00, seperti biasa aku
bergegas pergi ke kantor dengan berjalan kaki. Tiap hari aku pergi-pulang
berjalan kaki, karena kantor ku relatif dekat dengan rumah, yaaa…kira kira 20
menitan dengan berjalan santai.
Berjalan
kaki ke kantor merupakan keasyikan tersendiri. Disamping berolahraga, sepanjang
jalan bisa menyaksikan pemandangan yang beragam setiap harinya, apalagi jalan
yang dilalui merupakan jalan tikus yang melintasi tiga perkampungan. Betapa
beragamnya aktivitas masyarakat di saat pagi pergi kantor, maupun sore hari saat
pulang kantor. Layaknya kehidupan keseharian penduduk pada umumnya. Di pagi
hari, biasanya terlihat pemandangan orang lalu lalang pergi menuju kantor, anak
anak pergi ke sekolah, ibu ibu ada yang menyuapi anaknya, ada yang sedang
membeli bubur ayam, dan ada juga yang sedang berbelanja sayur di si abang
gerobak sayur. Di sore hari, biasa terlihat orang pada pulang kantor, anak anak
pulang sekolah, ibu ibu menyuapi anaknya, anak anak sedang bermain bersama
teman temannya, ada juga berbagai tukang dagang menjajakan dagangannya, seperti
pisang goreng, bajigur dan rebusannya, mie bakso, bahkan ada juga siomay.
Pagi
itu, teng pukul 7:20, aku sudah sampai di kantor. Melewati pintu gerbang, dua
orang satpam dengan senyumnya yang ramah menyapa: ”Selamat Pagi, pak”, lantas
aku tersenyum dan membalas salam mereka: “Selamat Pagi”.
Suasana
halaman kantor mulai ramai, para pegawai berdatangan. Ada yang berjalan kaki,
ada yang mengendarai motor, ada juga yang menggunakan mobil. Sampai di lobby
kantor, ku melihat para pegawai berbaris mengantri di depan mesin absen untuk
absen masuk kantor. Jam masuk kantor pukul 7:30, aku masih punya waktu kira
kira 10 menit, kugunakan untuk sarapan roti gandum dan secangkir kopi.
Berbarengan
dengan selsainya sarapan, kolegaku seruangan memberi tahu kalau aku dipanggil
pimpinan. Aku segera menghadapi beliau, dan bertanya ada apa aku diminta
menghadap? Beliau menjawab: “Hari ini ada pegawai baru bernama Retno, tolong
dibimbing dan diberi penjelasan Tugas Pokok dan Funsi Bidang ini, Program dan
Rencana Kerja, serta berbagai kegiatan yang dilaksanakan tahun ini. “Baik bu”,
sahutku. Selang beberapa saat, terdengar olehku suara ketukan pintu ruangan
pimpinanku yang diiringi suara salam, “tuk…tuk…tuk”, “assalamualaikum”. Ku
sahut: “waalaikumsalam”. Begitu pintu
terbuka, ku lihat mas Hadi, staf Sub Bagian Kepegawaian, masuk bersama seorang
wanita muda. Kemudian pimpinanku mempersilahkan duduk. Sebelum duduk, mas Hadi
memperkenalkan wanita yang bersamanya: “Bu, ini staf baru kantor kita, namanya
Retno”. Kemudian Retno dan pimpinanku, Ibu Liani, saling berjabat tangan.
Demikian juga aku dan Retno berjabat tangan saling memperkenalkan diri. Mas
Hadi kemudian menyerahkan Retno ke Ibu Liani, sesuai SuratKeputusan Penempatan
Pegawai. Setelah itu, Mas Hadi pamit, dan kemudian ibu Liani menyerahkan Retno
kepadaku untuk diorientasi di Bidang tempat kerjaku.
Keesokan
harinya, sebelum menjelaskan apa yang akan diorientasi, aku ngobrol sedikit
mengorek informasi tentang Retno. Dia ternyata bertempat tinggal di Jakarta
bersama orangtuanya. Untuk sementara dia pergi-pulang ke kantor di Bogor naik
kereta. Setelah itu, Retno ku perkenalkan kepada seluruh pegawai yang ada di
Bidang dimana aku bekerja. Setelah ku perkenalkan, kemudian aku beri penjelasan
dan pengetahuan tentang ruang lingkup tugas dan fungsi Bidang dimana nanti
Retno bekerja, juga program dan berbagai kegiatannya. Selama sebulan, Retno
melakukan orientasi tersebut. Disela sela waktu orientasi, aku pernah makan
siang bersamanya. Disaat itu, Retno bercerita bahwa dia mempunyai pakde dan
bude (uwa) yang tinggal di Bogor. Dia menceritakan bahwa pakde dan budenya
tersebut tinggal di Komplek Pertanian, memiliki tiga orang anak yang bernama
Tanti, Fenti, dan Bagus. Dari ceritanya tersebut, ternyata aku kenal dekat
dengan keluarga Pakde dan Budenya. Mengapa?? Karena Fenti adalah teman sekolahku
saat SMA dan teman kuliah waktu S1. Aku menceritakannya kepada Retno. Retno
cukup terkejut aku mengenal keluarga Pakde-budenya, dan langsung minta diantar
kerumah Pakdenya.
Sore
hari, setelah pulang kantor, aku mengantar Retno ke rumah Pakde-budenya. Dengan
speda motorku, ku bonceng dia menuju rumah Pakdenya. Sesampai di rumah
Pakdenya, budenya Retno terkejut dan agak keheranan melihat aku datang bersama
cucunya. Kemudian kami saling berjabat tangan. Retno berpelukan erat dengan
budenya, menunjukan kangen yang sudah lama tidak berjumpa. Pakdenya, saat itu
tidak berada di rumah, sedang tugas ke luar kota. Setelah aku dipersilahkan
duduk, budenya langsung akan membuatkan kami minum, tapi dicegah Retno: “Biar
aku yang buatkan minum, bude”. Kata bude: “Ayo sini ikut bude ke dapur”. Lalu
mereka berdua menuju dapur. Sambil membuat minuman, entah apa yang mereka
obrolkan di dapur. Mungkin tidak jauh dari saling berbagi khabar antar
keluarga, gumamku. Tidak begitu lama, datanglah bude dan Retno sambil membawa
nampan yang berisi cangkir minuman dan 2 toples kue. Setelah minuman dan kue
ditaruh di meja, aku dipersilahkan bude untuk meminumnya. “Monggo diunjuk,
mas”, kata bude. “Iya bu, terimakasih”, jawabku. Kemudian minuman teh hangat
yang telah tersaji, aku sruput. Segar dan memudarkan dahaga, rasanya. Bude
lantas bertanya: “Ini kok bisa ke sini berduaan, bagaimana ceritanya?” Kemudian
Retno menceritakan kepada budenya: “Gini lho bude. Aku ini diterima bekerja di
kantor mas Budi ini, lho”, sambil menunjuk kepadaku. “Mulai hari kemarin sampai
kira kira satu bulan ke depan, aku dalam masa orientasi, sebelum diterjunkan ke
pekerjaan”. “Ooo…alaaahhh…Mas Budi iki konco sekolahane Fenti sejak SMA lan
wektu kuliah, Ret., dunyo iki sempat, yo”, jawab bude dengan gembira. “Kamu
sekarang selama orientasi tinggal dimana?” Tanya bude. “Pulang pergi, bude”,
jawab Retno. Bude kemudian bilang: “Wis, mulai besok kamu tinggal di rumahku,
di belakang masih ada dua kamar yang kosong. Sana tempati”. “Iya bude, aku ijin
bapak ibu dulu”, kata Retno. “Ibu Bapakmu pasti ngijinin, wong tinggal di rumah
budenya”. “Iya bude”, tukas Retno menjawab tawaran budenya yang bicaranya begitu
bersemangat.
Seminggu
setelah kunjungan ke rumah budenya tersebut, Retno mulai pindah ke rumah
budenya, dan saat itu, aku juga membantu kepindahannya sesuai permintaan
budenya. Sejak tinggal di situ, bude selalu meminta bantuan aku jika ada acara
di rumahnya. Aku dan Retno selalu bersama membantu bude. Maklum saat itu, putra
dan putrinya bude masih pada kuliah di kota lain. Dari selalu bersama itulah,
lambat laun terbit kasih saying antara aku dan Retno. Kalau menurut peribahasa
jawa kita mengenalnya dengan Witing Tresno Jalaran Soko Kulino.
Bogor,
9 November 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar