Otobiografiku
Oleh
Bambang
S. Sankarto
Bogor.
Mungkin kata tersebut sudah tidak asing lagi bagi kebanyakan orang. Kalau
mendengar kata Bogor atau melihat tulisan Bogor, yang akan muncul dalam ingatan
orang, antara lain Kota Hujan, Kebun Raya, Talas, dan Asinan. Mengapa demikian,
karena Bogor merupakan salah satu daerah di Indonesia yang memiliki curah hujan
tinggi. Selain itu, Bogor juga dikenal masyarakat melalui Kebun Rayanya. Sebuah kebun botani besar yang Luasnya
mencapai 87 hektar dan memiliki 15.000 jenis koleksi pohon dan tumbuhan.
Kebun yang sangat luas tersebut dibangun sejak jaman kolonial belanda oleh seorang
berkebangsaan Inggris bernama Stamford Raffles. Hal lain yang membuat Bogor
masyhur adalah talas dan asinannya. Dipinggiran jalan Kebun Raya dekat Pasar
Bogor, banyak berderet penjual talas. Wisatawan dapat memlih dan membeli
beragam talas. Disamping itu ada juga beberapa toko yang menjual kue khas
berbahan dasar tepung talas yang dikenal dengan Kue Talas. Tidak kalah tenar
dengan talas, asinan Bogor juga menjadi incaran para pelancong yang berkunjung
ke Bogor. Baik talas mentah, kue talas, dan asinan sering dijadikan buah tangan
oleh para wisatawan maupun orang Bogor yang akan berkunjung ke saudara maupun
temannya. Saya yakin, anda semua mengenal Bogor. Nah…di kota itulah, Aku
dilahirkan.
Aku
dilahirkan pada hari Jumat legi, tanggal 24 Pebruari 1961. Diberi nama Bambang
Setiabudi Sankarto. Menurut Ayah, nama tersebut mengandung arti seorang
penggembala kesatria yang setia kepada budi pekerti yang luhur. Melalui nama
tersebut, saya meyakini tersirat harapan orang tua terhadap anaknya, agar kelak
menjadi orang yang memiliki rohani dan jasmani yang baik, serta mampu
membimbing orang ke jalan yang baik atau Amar ma'ruf
nahi munkar. Insha Allah harapan tersebut terwujud. Aamiin yaa rabbal almiin. Nama resmiku tersebut, cukup panjang,
sehingga orang di rumah ataupun saudara dan teman teman sepermainan memanggilku
“Budi”, tapi di sekolah dan di tempat kerja orang memanggilku “Bambang”.
Aku anak ke enam dari
enam bersaudara. Aku si bontot, lelaki seorang diri. Kakak kakakku semua, lima
limanya perempuan, sehingga aku dan ayahku yang paling ganteng di keluarga,
“he…he. he”. Olehkarena anak lelaki cuma satu, dan anak perempuan lima, ayahku
sesuai tradisi dan filosofi orang jawa menyebutnya dengan istilah “Pandawa
Nyandangi”, mengandung makna bahwa kelima anak perempuan harus mensuport baik
materil maupun spiritual kepada anak lelaki yang satu satunya. Betapa senang
dan bahagianya aku, saat kakak kakaku sudah pada punya penghasilan aku selalu
dikasih uang, bahkan pakaian. Demikian juga saat hari raya lebaran. Selain itu
juga, kerap diajak jalan jalan.
Ayahku hanyalah
seorang Pegawai Negeri Sipil atau Aparatur Sipil Negara biasa. Karena seorang staf
biasa itulah, untuk memenuhi kebutuhan keluarga, ayahku bekerja keras dengan
berbagai usaha, antara lain bengkel las yang memproduksi berbagai perlengkapan
rumah tangga, berbahan besi, seperti tempat tidur, kursi, tempat pot, dan lampu
gas karbit; Pabrik Batako; Beternak ayam; Beternak ikan; Budidaya Jamur tiram
putih. Ayahku seorang pekerja keras, ulet, dan penuh tanggungjawab terhadap
keluarga. Demikian pula ibuku, selain sebagai ibu rumah tangga, untuk menopang
kebutuhan keluarga, beliau juga memiliki usaha toko sembako. Sewaktu sekolah
SD, SMP, dan SMA, aku sering membantu ibuku berbelanja dagangan tokonya, juga
aku sering membantu melayani pembeli.
Aku sangat senang dan menikmati bisa membantu ibuku. Aku sangat bangga dan
menyayangi kedua orangtuaku.
Masa kecil hingga
sebelum nikah, aku tinggal di suatu kampung di Kota Bogor, masuk ke dalam
wilayah Kecamatan Kota Bogor Barat. Kampung tersebut dikenal dengan kerajinan
istrumen musik gamelannya, baik untuk mengiringi tari, wayang golek, maupun
pencak silat. Kampung tersebut bernama “Kampung Pancasan”. Entahlah, kenapa
kampung tersebut dinamakan Pancasan. Kalau menurut Wiktionary, sih, Pancasan
artinya putusan, ketetapan atau kerampungan. Jadi, mungkin, pada jaman dulu di
lokasi tersebut, oleh penguasa setempat telah
diputuskan/ditetapkan/diselesaikan sesuatu hal yang penting bagi masyarakat.
Makanya disebut Kampung Pancasan. Masa kecilku sangat menyenangkan. Sepulang
sekolah, setelah makan dan beristirahat, biasanya aku suka dijemput teman teman
untuk bermain. Berbagai permainan dilakukan saat kecil, seperti Dampuh, Galah
asin, Gatrik, Ular ularan, Petak umpet, Kelereng, Panggal dsb. Bahkan, aku dan
teman teman juga sering bermain dan berenang di sungai. Kebetulan kampungku
dilalui oleh sungai Cisadane. Sungguh sangat bahagia, menyenangkan, betapa
banyak permainan bisa dilakukan, betapa persaudaraanpun sangat erat diantara
teman, sampai sampai kadang kita bawa makanan masing masing untuk dimakan
bersama sama di rumah teman dan tempatnya dilakukan secara bergantian. Makan
bersama tersebut istilah di kampungku, namanya “Babacakan” atau ada juga yang
menyebutnya “Cucurak”. Sungguh masa kecil yang indah dan tak terlupakan.
Aku menempuh
pendidikan SD, SMP, dan SMA di kota kelahiranku, Bogor. Jenjang pendidikan
selanjutnya aku selesaikan di Jakarta, Los Banos - Filipina, dan Sydney
Australia. Saat ini aku bekerja di Bogor, sama halnya dengan ayahku, sebagai Aparatur
Sipil Negara.
Kalau dilihat lihat
secara umum, aku dari lahir hingga sekarang berdomisili di Bogor. Hanya saja sewaktu
kecil tinggal di Kampung Pancasan, sekarang saat tua tinggal di Kampung
Pasirjaya, tapi masih di Kecamatan Kota Bogor Barat juga, sih. Seolah olah,
dunia sempit, yaa…
Oh…iya, aku memiliki
dua orang anak. Anak yang sulung perempuan, sudah selsai pendidikan S1 nya.
Sekarang bekerja dan ngekost di Jakarta. Satunya lagi, si bontot, laki-laki, tinggal
bersamaku, masih sekolah SMA, jurusan IPA, kelas XI.
Anak anaku saat ini
beranjak dewasa, tapi sangat disayangkan istriku sudah tidak dapat
mendampinginya lagi, karena sejak si bontot di TK kecil, duabelas tahun lalu,
isteriku meninggalkan mereka, meninggalkan dunia setelah tiga setengah tahun
melwan penyakitnya yang ganas. Penyakit yang hingga saat ini belum ditemukan
obatnya, tak lain adalah penyakit kanker paru paru. Semoga isteriku telah
bersamaNya di surgaNya. Aamiin Yaa Rabbal
Alamiin.
Demikian sekelumit kisah
hidupku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar